KAMPUNG PEJUANG YANG TERCAMPAKAN OLEH IBU PERTIWI
Menyesal
rasanya, darah kakek-kakek kami dan orang tua kami yang tertumpah untuk dan
demi membela kemerdekaan Ibu Pertiwi “Indonesia Raya”. Darah mereka, semangat
mereka, jiwa, mereka, kebahagiaan mereka semuanya dilimpahkan untuk satu cita,
satu tujuan “menuju Indonesia Jaya,
Menuju Indoensia Raya. Mereka memang tidak bisa bebuat banyak tapi
mereka sudah banyak berbuat untuk negeri ini. Darah, keringat tak terhitung lagi
entah sudah beberapa tetes yang dituangkan untuk membela negeri ini, namun apa
yang didapat kampong mereka, tempat tinggal mereka tempat yang menjadi
kebanggaan, tempat yang memunculkan semangat-semangat pratiotisme dicampakan
dan sangat dicampakan oleh Tanah Air sendiri. Tanah air yang dibangn dengan
keringat darah, tetasen airmata, tulang belulang para kesatria. Tapi apa yang
di peroleh kini kampong itu hanya sebuah dusun yang sungguh tidak dihargai
seakan selalu ditertawakan oleh antek-antek separatis dimasa kemerdekaan.
Mereka seakan tertawa,
dari jaman penjajahan hingga kemedekaan pejuang terus dijajah dan penjajah
dianggap sebagai pejuang. Kampung yang nyata-nyata adalah kampong separatis
dibiarkan berdiri kokoh difasilitasi, dimanjakan seakan mereka adalah pejuang
seakan mereka adalah pahlawan dan perintis kemerdekaan. Sementara kampong para
pejuang itu dibiarkan terombang ambing dengan status yang didak jelas. Kampong
yang dibantai oleh gerakan separatis karena mempertahankan kemerdekaan, kampong
yang menjadi tampat persinggahan awal dua KRI tanah air untuk pembasmian RMS di
bumi Maluku. Itulah KRI Rajawali dan KRI Hang Tuah kapal perang nusantara yang
disambut kedatangannya dengan suka cita oleh masyarakat katapang, namun
kepergiannya membawa malapateka, puluhan rakyat katapang di bunuh, dibunuh
dengan sadis, tanpa ada rasa perikemanusiaan. Pejuang dibantai, mayat mereka
dibiarkan berserakan, tidak boleh ada yang menangis semuanya menari, keluaga
yang pejuang yang terbunuh hanya pasrah, hanya menunggu giliran meraka akan
dibunuh, hanya air mata doa yang sanggup ditelan tiada lagi kata yang harus
diucap, tiada lagi tatap yang harus ditatap mereka taksanggup membuka mata
melihat tumpukan jenazah sang pejuang yang mereka harapkan terbujur kaku.
Hanya kalimat
yang tersembunyi muncul dari detakan jangtung yang sembraut, smoga ini cepat
berakhir semoga Indonesia cepat jaya, semoga Indonesia Cepat Merdeka agar kami
bisa terbebas dari perilaku-prilaku tidak bermoral ini. Puluhan mayat
bergelimpangan tak membuat kendor semangat pejuang mereka, mereka terus saja
membangun jentik-jentik semangat untuk melawan. Kami adalah pejuang, kami cinta
Indonesia, kami cinta tanah air silhkan ambil darah kami, ambil nyawa kami tapi
tak akan pernah sanggup engkau mengambil semangat kami untuk menjayakan negeri
ini.
Tenaga mereka
terkuras habis oleh siksaan prajurit belanda, oleh siksaan prajurit jepang
namun selalu pancarkan semangat membara. Semangat untuk tetap bangkit berharap
kedepan akan lebih baik. Semangat yang selalu membara mengangkat kepala dan
jiwa mereka untuk teriakan kemerdekaan “MERDEKA” semangat mereka yang
menggelora membangkitkan keberanian mereka hingga terkibarkan sang Merah Putih di
18 Agustus 1945 saat pasukan Jepang kebingunan pasca Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945.
Namun kenapa kampong mereka yang
ditinggal ileh anak cucu mereka tidak dihargai sama sekali.
Kami yang
tinggal sekarang ini anak cucu merekah tidak ikhlas dengan pengorban yang telah
dilakukan oleh kakek-kakek dan orang tua kami. Setiap darah yang tercurah tidak
ikhlas kami berikan untuk Negara ini. Kami anak cucu mereka menuntut, menuntut
sebuah pengakuan yang semu, pengakuan untuk kampong kami diperhatikan kampong
pejuang itu diperhatikan, kenapa kampong separatis diperhatikan dibiayai oleh
Negara sementara kampong pejuang dicampakan.
Tahun 1940 dalam kehidupan masyarakat Katapang
belum terjadi pergerakan perjuangan, kehidupan pada masa itu dirasakan normal
adanya. Bekerja untuk pemerintah belanda mengambil keuntungan seadanya bukan
sebuah penyiksaan menurut mereka. Asalkan tidak disakiti atau ditindas kasar
mereka tetep melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Mulai terjadi pergerakan
masyarakat katapang melawan penjajah adalah pada tahun 1942 ketika jepang
menduduki seluruh Indonsia termasuk Katapang. Puncaknya ketika masyarakat
katapang dijadikan tentara atau prajurit pembantu jepang yang dikenal dengan
KNIL dan HEIHO. Semua pemuda katapang dipaksa untuk menjadi prajurit jepang.
Beberapa orang diantara pemuda katapang sampai dipercayakan memimpin pasukan
KNIL dan HEIHO. Hikma positif yang menguntungkan pada Jaman pemerintahan jepang
atau era pendudukan Jepang di Katapang adalah makin baiknya hubungan komunikasi
karena pemerintah jepang membangun sebuah pemancar penerima siaran radio dan
memfaslitasi beberapa pasukan mereka dengan pesawat radio. Sehingga secara
diam-diam pemuda katapang yang tergabung dalam pasukan HEIHO mulai mengikuti
pergerakan perjuangan para pejuang indonesia yang ada di Bagian Barat dengan
membentuk pasukan PETA. Pasukan PETA kemudian masuk dalam barisan jepang
sebagai mata-mata. Hati-hatinya pergerakan pasukan PETA membuat jepang tidak
mampu membaca pergerakan mereka.
Salah satu pemimpin besar PETA yang terselubung di
balik nama besar HEIHO yaitu Muhammad Noer yang merupakan Kepala Kampung
Katapang dan merupakan tokoh perintis kemerdekaan di Maluku bersama Wem Lewaru
(Waai) dan Ye Hasan (Luhu). Mereka menjadi sebagain tokoh yang menjadi tongkat
pergerakan kemerdekaan di Maluku yang sampai sekarang terkubur bersama sejarah
perjuangan mereka, hanya Wem Lewaru yang masih diabadikan namanya sampai
sekarang. Tahun 1944 Muhamad Noer diberi tugas yang sangat besar oleh Presiden
Pertama yaitu menjalankan sebuah misi rahasia. Kemudian beliau memerintahkan 4
orang pemuda yang tergabung dalam anggota PETA untuk menjalankan misi rahasia
tersebut. Mereka adalah Abdurahman (katapang), Arsad Katapang (Katapang),
Djabir (katapang), Amei (keturunan cina). Mereka di perintahkan untuk menukar
senjata di Manila Piliphina. Dengan perahu Kora-Kora dan bermuatan kelapa Kopra
mereka berlayar menuju Manila mendekati perbatasan Manila Piliphina Presiden
Soekarno bersama Kapal Selam mendekati mereka dan mengajak mereka berfoto dan
memberikan Bendera Merah Putih dan pesan-pesan cara mereka ke manila. Setelah
Presiden Soekarno meninggalkan mereka selang beberapa jam kemudian muncul
sebuah kapal derek. Kapal tersebut kemudian menarik mereka sampai ke Manila
Piliphina. Sesampainya di Manila mereka sangat bingung dengan penyambutan yang
dilakukan pada mereka, kemudian penukaran kelapa kopra dan senjata dilakukan
tanpa banyak negosiasi yang dibangun. Setelah selesai proses penukaran kemudian
mereka kembali ke Indonesai (Maluku) dengan muatan senjata ratusan pucuk dan
peluru ratusan peti. Sampai di Sulawesi Utara (Manado) mereka diberitahukan
kalau misi mereka telah diketahui pihak jepang sehingga senjata yang mereka
bawah dari manila untuk para pejuang PETA di Maluku harus mereka tinggalkan di
Manado.
Setelah semua barang yang dibawah ditinggalkan di
Manado kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Maluku. Mamasuki pulau Ambon
mereka digeledah dan ditahan oleh pasukan jepang. Kurang labih 4 bulan mereka
di tahan baru kemudian mereka dibebaskan lagi oleh Muhammad Noer sebagai
komandan HEIHO dan PETA pada saat itu. Mereka kemudian kembali ke Katapang
dengan hanya membawa pemberian dari Presiden Soekarno yang mereka sembunyikan
rapat didalam kapal. Itulah bendera pertama yang masuk di Katapang dan
diberikan langsung oleh presiden Pertama Indonesia. Perjuangan mereka terus
berlanjut setiap ada pergerakan perjuangan para tokoh katapang telah siap
siaga. Pada waktu-waktu tertentu Muhammad Noer sering berkomunikasi dengan
kapal-kapal selam pejuang yang berlalu lalang di laut Katapang. Komunikasi yang
dibangun adalah gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Adanya
komunikasi perjuangan inilah yang membangkitkan semangat nasionalis pejuang
Katapang. Namun pada waktu itu perjuangan yang mereka lakukan hanyalah sebatas
pemberian informasi tentang kekuatan dan kelemahan tentara jepang. 17 Agustus
1945 setelah proklamasi kemerdekaan tentara jepang menyampaikan kekesalannya
kepada masyarakat katapang bahwa “kalian telah merdeka”. Hal ini belum serta
merta mereka umumkan kemerdekaannya. Sehari kemudian tepatnya tanggal 18
agustus 1945 memanfaatkan kebingunan tentara jepang pada saat itu, kemudian
mereka mengibarkan Bendera Merah Putih yang pertama. Selama beberapa jam dengan
pengawalan ketat. Bendera merah putih yang pertama dikibarkan ini kemudian
disimpan dengan baik. Tahun 1949 tepatnya tanggal 17 agustus pengibaran kedua
dilakukan. Bendera ini kemudian disimpan (ditanam) pada tahun 1950 disaat
terjadi pembantaian masyarakat Katapang oleh pasukan separatis RMS (Baret)
sampai kini belum diketahui keberadaannya. Mengetahui bendera pemberian beliau
pada pejuang Katapang telah hilang kemudian Presiden Soekarno
mengirimkan penggantinya (duplikat bendera pusaka) dan masih terpelihara sampai
sekarang.
Setelah proklamasi kemerdekaan RMS pada 25 April
tahun 1950 di Maluku, tanggal 2 Mei 1950 Muhammad Noer Menerima berita dari
Jakarta Bahwa Akan dikirim pasukan marinir untuk memberantas gerakan separatis
RMS di bumi Maluku. Mereka dikirim dengan menggunakan kapala perang milik TNI
angkatan laut. Mendengar berita tersebut Muhammad Noer meminta masyarakat
katapang untuk bersiap-siap menyambut pasukan TNI dari Jakarta. Masyarakat
katapang kemudian bersiap-siap melakukan penyambutan. Apa yang mereka bisa
lakukan telah mereka siapkan diantaranya mencari ikan, ambil kelapa muda, dan
penjamuan sekadarnya. Tidak hanya itu penjagaan malampun mereka lakukan karena
kwatir adanya penyusup yang masuk menyerang. Sejak tanggal 9 Mei 1950
masyarakat katapang telah bersiap-siaga namun belum muncul juga kapal yang
meraka nantikan. Sehingga kelapa yang mereka seiapkan sudah beberapa kali
dimakan dan diganti, ikan dan makanan lain mereka makan dan menggantinya.
Sampai tanggal 13 Mei 1950 baru kapal tersebut muncul dan berlabuh di Katapang.
KRI Rajawali dibawah pimpinan Laksamana Jhon Lie (keturunan Cina) dan KRI Hang
Tuah dibawah pimpinan Mayor Simanjuntak yang sandar di katapang.
Kapal ini dapat sandar dan berlabuh di laut
katapang setalah mendapat kode dari Kepala Kampung Katapang Muhammad Noer. Kode
atau tanda yang disampaikan oleh Muhammad Noer adalah dengan mengibarkan dua
buah bendera merah putih kecil dengan pangjang sekitar 10cm. Ketika kapal
tersebut terlihat jelas dengan teropong yang dimilikinya, kemudian Muhammad
Noer mengeluarkan dua buah bendera kecil dari dalam bambu lalu mengibarkan dua
bendera kecil itu didepan dadanya. Hal ini dilakukan agar teropong kapten kapal
dapat melihat kode tersebut. Kode ini telah diatur sebelumnya sebelum kapal ini
mendarat di katapang sehingga masing-masing telah mengetahui perihal kode yang
nantinya diberikan. Masyarakat katapang sangat senang dan gembira menyambut
datangnya dua buah kapal ini. Kegembiraan ini meraka apresiasikan dengan naik
dan bermain di kapal tukar menukar makanan dengan TNI. Kedatangan kapal ini
kemudian dilaporkan oleh mata-mata separatis RMS di lokki kepada Pasukan RMS di
Piru. Karena kelelahan saat penjamuan dengan para TNI yang datang, pada malam
itu masyarakat Ketapang tertidur dan tidak melakukan penjagaan di perbatasan
kampung. Pada pukul 4.00 WIT pagi sebelum sholat subuh puluhan pasukan RMS
telah tiba di Katapang. Seorang pemuda yang mengetahui kedatangan pasukan RMS
lalu berlari untuk membangunkan masyarakat. Namun usaha yang dilakukannya sudah
sangat terlambat ketika di berteriak “hoe
Ora-ora kampo bangu ada tuki-taka di balaka kampo mau bila anji buka anji mau
bila babi buka babi” (hai orang-orang kampung bangunlah ada suara tak-tik
di belakang kampung mau bilang anjing sepertinya bukan anjing mau bilang babi sepertinya
juga bukan babi) saat itu puluhan pasukan RMS telah mengepung sampai ke dalam
kampung dengan peralatan senjata yang lengkap. Pemuda itu kemudian ditangkap
dan disayat mulutnya hingga ke telinga.
Pagi itu seekor ayampun tidak berani berkokok,
hanya terdengar suara tembakan yang mengaung menggantikan suara azan subuh.
Semua rumah digeledah untuk mencari bukti-bukti perjuangan masyarakat Katapang,
bendera merah putih pemberian Presiden Soekarno dicari untuk dimusnahkan.
Semakin brutal pembantaian mereka karena tidak satupun bukti yang bisa mereka
peroleh. Semua orang diminta keluar yang berlari ditembak ditempat, yang
menangis ditembak ditempat. Setiap yang keluar harus diam dan berjalan ketempat
pertemuan sesuai arahan mereka. Tidak dibolehkan membuat gerakan yang
mencurigakan, puluhan nyawa melayang di pagi itu, rumah-rumah dibakar tidak satu
orangpun yang boleh menangis. Bapak, ibu, nenek atau kekekmu yang tertembak
tidak perlu ditangisi semua masyarakat pemuda dan pemudi diperintahkan untuk
berpesta, berpesta di antar korban-korban yang berserakan. “Ambil tipa” kata
mereka “pukul tipa” kata mereka “ayo semua menari kalau tidak mau mati” kata
merka pula. Semua masyarakat hanya bisa pasrah atas tindakan para separatis RMS
di pagi itu.
Semua masyarakat yang hidup dikumpulkan disebuah
tanah lapang kecil di dekat pantai, kemudian mereka menyuruh para mata-mata
untuk mengenali tokoh-tokoh pejuang katapang. Setiap mereka yang ditunjuk oleh
mata-mata kemudian dipisahkan ke lokasi samping sabuah (balai desa) batang kelapa untuk dieksekusi, hanya
sepenggal kalimat yang diutarakan sebelum mereka menembak (pesta di kapal
Rajawalie, isap roko eskore, makan biskuite) hanya kelimat itu yang diucapkan
sebelum mereka tembak setiap orang. Korban semakin banyak yang berjatuhan,
pemuka dan tokoh-tokoh pejuang sudah banyak yang dibantai. Yang terbantai
dibiarkan saja tidak boleh ada yang mengurusi biarkan semua bergelimpangan.
Sungguh sebuah pembantaian yang sadis dan tidak berperikemanusiaan. Puluhan
nyawa telah melayang hingga seorang komandan RMS asal maluku tenggara hendak
menembak salah seorang masyarakat katapang (Renhoat) yang juga asal Maluku
Tenggara lalu beliau berteriak menggunakan bahasa daerah mereka dengan
kencangnya “neno mata kita” (mama beta mati juae). Serentak komandan itu kaget
dan berkata kepadanya kanapa kamu dari tadi tidak bilang dari tadi saya tanya
kamu tidak jawab. Kemudian komandan bertanya dimana lai ada orang katong
(dimana lagi ada suku kita). Kata Renhoat di atas ada satu orang lai (disebelah
barat ada seorang lagi) namanya Farnatubun. Kemudian komandan berlari mengecek
orang yang disampaikan oleh Renhoat sesampainya ditempat Farnatubun, Ternyata
Farnatubun telah meninggal tertembak. Kemudian sang komandan RMS itu menyesal
dan berteriak “Beta sukala, Beta pung orang su mati” (saya sudah kala, orang
saya sudah meninggal). Kemudian komandan itu memerintahkan kepada seluruh
prajurit RMS pada saat itu untuk berhenti membunuh orang, bila ada lagi yang
menembak berarti kita dengan kita akan berperang. Dari situlah suara senjata mulai tidak
terdengar lagi korbanpun tidak berjatuhan, mereka kemudian meninggalkan
katapang dengan pesan untuk melapor ke Lokki setiap harinya. Mereka berangkat
dengan beberapa orang yang menjadi tawanan salah satunya adalah Muhamad Noer
tokoh utama pejuang katapang yang diseret sampai ke piru dan dibunuh di
sekitar Hunimua Negeri Liang (Pulau Ambon) kemudian jenasahnya dipindahkan ke
Tempat Pemakaman Pahlawan KAPAHAHA Ambon skitar tahun 1990an.
Setelah berjalan
beberapa bulan dan ketika RMS dapat diusir dari pulau ambon, RMS kemudian
berpindah ke Pulau Seram Piru. Kemudian para pejuang pejuang katapang bergabung
dengan TNI untuk menyerang RMS di piru dan bersama-sama TNI hingga penangkapan
ketua RMS dr Soumokil, bersama-sama TNI menelusuri semua wilayah dalam upaya
penangkapan dr Soumokil. Pada akhir tahun 1950 Soumokil tertangkap kemudian KRI
Rajawali dan KRI Hang Tuah kembali ke Jakarta. Ada beberapa pejuang termasuk
pejuang Katapang yang ikut bersama dua KRI tersebut.